PENDIDIKAN BUKANLAH MENGISI GELAS KOSONG
Sebenarnya apa niat dari orang tua
kita ketika memasukkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan? Tujuannya mengarah
pada kehidupan yang lebih baik pastinya. Pendidikan yang menghasilkan kehidupan
lebih baik bagi output-nya. Inilah yang belakangan sering terjadi di
masyarakat khususnya Indonesia. Pendidikan hanya sekedar mencerdaskan
intelektualnya saja. Anak didik tidak diberikan kebebasan menjadi manusia
seutuhnya. Yang pada akhirnya menjadi manusia-manusia serakah yang hanya
mementingkan dirinya sendiri.
Lantas, bagaimana seharusnya sebuah
pendidikan tersebut? Pendidikan harus membebaskan anak didik,mengajarkan anak
didik untuk menjadi manusia seutuhnya, menjadi khalifah di muka bumi.
Pendidikan yang membebaskan menurut
Freire (2011; 9) seorang filsuf dan ahli pendidikan berkebangsaan Brazil, yakni
pendidikan terbebas dari segala hal yang mengekang kemanusiaannya menuju
kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Kebebasan disini antara manusia yang
satu dan manusia yang lainnya sama sekali tidak dibenarkan untuk saling
mengekang dan menindas. Manusia bisa tertindas oleh bermacam-macam faktor,
misalnya rezim yang otoriter, perbedaan kelas, warna kulit, gender, ras, atau
stuktur sosial yang memperlakukan kelompok tertentu dengan tidak adil. Sehingga
dalam hidupnya sangat terbatas.
Freire memahami betul bahwa
orang-orang yang miskin sangat membutuhkan pendidikan, karena ia pernah
mengalami langsung bagaimana getirnya kemiskinan dan kelaparan pada masa
Depresi Besar di tahun 1929. Gagasan Freire terutama yang terkait dengan
pendidikan yang membebaskan. Gagasannya ini semakin mendapatkan ruang dan
tempat untuk dikembangkan ketika pada tahun 1962 ia mendapat kesempatan
mengajar 300 orang buruh kebun tebu yang buta huruf untuk bisa membaca dan
menulis dan hanya dalam kurun waktu 45 hari saja. Apa yang dilakukan Freire
berhasil dan akhirnya program perluasan budaya ini dikembangkan secara luas di
Brazil. Pendidikan model Freire ini akan menimbulkan sebuah penindasan/dendam,
karena gagasan ini ditujukan kepada kaum tertindas dan tidak menempatkan kaum
yang tertindas itu berhadapan secara langsung dengan orang yang menindas.
Oleh para ahli gagasan Freire
sering disebut sebagai pendidikan kritis. Karena pendidikan yang membebaskan
merupakan suatu bentuk kritisme sosial. Tetapi memiliki makna bahwa pendidikan
yang membebaskan ini merupakan momen kesadaran kritis manusia terhadap berbagai
problem sosial yang ada di masyarakat.
Pendidikan yang semacam ini adalah
hak bagi setiap anak tanpa terkecuali. Tidak ada manusia yang lebih layak untuk
mendapaatkan pendidikan, sedangkan yang lain sengaja dijauhkan dari pendidikan.
Tetapi pada praktiknya pendidikan
yang membebaskan ini tidak menempatkan guru pada posisi nomor satu dan murid
pada nomor dua. Guru adalah pihak yang member dan murid adalah pihak yang
menerima. Akan tetapi, lebih ditekankan pada proses tanya jawab dan diskusi.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan suasana belajar dan
prosespembelajarannya agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dalam hal ini mengembangkan potensi
yang ada dalam diri anak didik ini adalah kunci penting diselenggarakannya
sebuah proses pendidikan yang membebaskan. Dengan mengembangkan potensi, juga
bisa mengendalikan diri dengan baik sehingga erat kaitannya dengan kematangan
jiwa anak serta tingkat kecerdasan anak didik tersebut. Dalam pelaksanaannya,
pendidikan yang membebaskan terutama di masyarakat Indonesia memang menjadi
tanggung jawab dan kewajiban Negara. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 31
ayat 3 “bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Disinilah sesungguhnya kita semua
dapat mengambil peran untuk turut serta menyukseskan pendidikan di Indonesia.
Dalam wilayah yang paling kecil (keluarga) agar mendukung proses pendidikan
secara maksimal. Sebagus apa pun pendidikan yang digerakkan oleh Negara
bila tidak didukung oleh keluarga yang ada, maka akan sulit mencapai
keberhasilan.
Kita tidak boleh menutup mata
terhadap kenyataan di negeri ini, bahwa masih banyak sekolah di daerah yang
boleh dikatakan sebagai sekolah miskin. Betapa tidak, ada sekolah yang
dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah jebol, meja dan kursi tampak
reyot, dan prasarana yang tidak memadai. Dari masalah tersebut maka proses pembelajaran
pun tidak maksimal. Sangat berbeda jauh dengan sekolah di kota-kota besar yang
sarana dan prasarana sudah memadai. Sungguh, hal ini memang perlu diperhatikan
dan dipenuhi. Pemerintah juga berkewajiban melakukan pemerataan dan perbaikan
sekolah-sekolah yang jauh dari memadai.
Terdapat sebuah istilah “orang
miskin disiksa di negeri sendiri” begitulah nasib bagi orang miskin menjadi
sendirian di tengah-tengah masyarakat yang mengalami siksaan. Keluhan yang
mucul disebabkan gara-gara tidak mampu bayar SPP, biaya pendidikan itu mahal,
seekolah untuk beli buku, dan lain-lain. Sehingga posisi orang miskin yang
seperti itu bisa dikatakan terasingkan dan terlantarkan. Untuk itu,perlu
dibangkitkan kembali semangat untuk memperoleh pendidikan yang semestinya.
Pendidikan bukan menjauhkan manusia
dari manusia lain, melainkan justru mengembangkan kesadaran kemanusiaan.
Pendidikan yang seperti ini adalah sebuah proses dalam membangun kesadaran anak
didik agar tidak terjerumus dari realita sosial. Dengan demikian, anak didik
itu bukan malah terjauhkan dari kenyataan hidup, melainkan mampu menghadapi
persoalan hidupnya dengan baik sekaligus tanpa meninggalkan hakikat
kemanusiaannya.
Menurut Bernhand Adeney dalam
tulisannya di Basis yang berjudul “Pendidikan Kritis yang Membebaskan”
ada kecenderungan sosial di Indonesia untuk memaksa semua orang supaya berpikir
sama. Memang,perbedaan budaya dan agama tidak bisa diabaikan begtu saja.
Akan tetapi, kesamaan-kesamaan harus ditingkatkan dan perbedaan-perbedaan harus
dikecilkan. Sebagai contoh yang sederhana, mengenai seragam sekolah.
Pendidikan kritis yang diperlukan
yaitu pendidikan kritis terhadap status quo, sikap kritis yang bertanggung
jawab, bukan sikap kritis yang mengutamakan ego saja. Artinya yang tidak hanya
kritis terhadap pemerintah, tetapi juga menyangkut permasalahan ekonomi,
sosial, maupun gerakan politik, dan lain-lain.
Sebuah pendidikan bukanlah
memberikan banyakpelajaran kepada anak didik hingga ia menguasai banyak ilmu
pengetahuan. Sama sekali bukan. Bila demikian yang terjadi, seperti yang
dikatakan sebelumnya siswa akan selalu menjadi objek sedangkan guru yang
menjadi subjek. Maka sangat dibutuhkan seorang pendidik yang jeli dan bisa
membaca kebutuhan apa saja yang diperlukan anak didik sekaligus potensi yang
bagaimana yang dimiliki tiap anak didik.
Jadi penekanannya, anak didik
bukanlah robot-robot yang siap dijadikan apa saja setelah melalui proses
pembelajaran oleh guru. Pemahaman tersebut sering keliru. Apalagi jika ada anak
yang dipaksa oleh orang tuanya, misalnya untuk kuliah di fakultas teknik dan
itu sangat tidak disukai oleh anaknya yang berkeinginan di fakultas seni. Pada
akhirnya yang terjadi pada si anak setelah lulus tidak ada perkembangan sama
sekali, karena tidak sesuai dengan cita-citanya.
Jika pendidikan masih memberlakukan
anak didik ibarat mengisi gelas kosong, pendidikan bertugas mengisi air ilmu
pengetahuan sehingga gelas itu penuh. Dan bila sudah penuh, maka berhasillah
pendidikan itu. Artinya sebagai gelas kosong yang akan diisi apa saja sesuai
dengan kehendak orang tua dan orang-orang yang memiliki kebijakan di bidang
pendidikan, maka hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang jauh dari
merdeka. Mereka hanyalah manusia yang dicetak untuk menjadi pelaku industry di
dunia kapitalisme atau bisa dikatakan dalam kepentingan kekuasaan yang ada pada
sebuah lembaga atau instansi.
Apabila sudah demikian, pengertian,
pemahaman, dan kesadaran akan ilmu pengetahuan yang diberiakn oleh guru kepada
anak didik sudah bukan hal yang penting lagi. Ciri pendidikan yang seperti itu
biasanya lebih mengajarkan pada menghafal daripada memahami, pilihan ganda
daripada esai.
Tentu saja kita tidak mau
menginginkan model pendidikan yang seperti itu. Kita menginginkan sebuah
pendidikan yang membebaskan, sehingga anak didik dapat menjadi manusia yang
lebih tercerahkan. Pendidikan yang membebaskan sangat menghargai proses
daripada hasil. Proses yang terjadi dilakukan penuh kesabaran dan kesadaran
dalam memperoleh pemahaman akan ilmu pengetahuan itu jauh lebih penting dari
hafalan-hafalan akan teori ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, pendidikan tak
sama dengan mengisi gelas kosong anak didik dengan ilmu pengetahuan bermakna
pendidikan yang menghargai betapa pentingnya anak didik dalam berproses belajar
agar memiliki sikap yang beretika baik ketika menghadapi permasalahan.
Di sinilah penting bagi peran orang
tua, peran guru, atau siapa saja yang bergerak dibidang pendidikan untuk
mengevaluasi dengan jujur apakah pendidikan yang selama ini dijalankannya telah
benar-benar memberikan kebebasan kepada anak didik untuk belajar atau justru
membelenggunya.
PROFIL PENULIS
Nama : YAUMUL MARKHAMAH
TTL : Pekalongan, 17 Agustus 1996
Alamat : Jl. Pemuda No.37 RT.7 RW.4 Desa Waru Lor
Kec. Wiradesa
Kab. Pekalongan
Jenis Kelamin :
Perempuan
Agama :
Islam
Status :
Belum Nikah
Pekerjaan :
Mahasiswi
Riwayat Pendidikan:
·
RA Muslimat NU Waru Lor Wiradesa (2003)
·
SDN Waru Lor Wiradesa (2009)
·
SMPN 2 Wiradesa (2012)
·
SMAN 1 Wiradesa (2015)
·
IAIN Pekalongan (sedang berjalan)
Pengalaman Organisasi:
·
Spatra’s Youth Science Club
·
Akademi Berbagi Pekalongan
Moto Hidup :
Be Your Self
PENDIDIKAN BUKANLAH MENGISI GELAS KOSONG
Reviewed by infokom ipnu ippnu kec. wiradesa
on
12:16:00 AM
Rating:
No comments: